Pantoea stewartii



Pantoea stewartii subsps. stewartii sebagai Bakteri Patogen Penyebab Penyakit Tumbuhan
Rudi Hartono|1021205002
 
Bakteri OPTK A 1 ini [ Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38/Kpts/HK.060/1/2006 Tgl. 27 Januari 2006 junto Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian No. 28 Tahun 2009] ternyata sudah berkembang di Indonesia terutama di sentra-sentra produksi Jagung.
Bakteri patogen tumbuhan penyebab penyakit layu stewart dan hawar daun stewart ditemukan pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1967. Selanjutnya penyakit ini menyebar ke Italy pada tahun 1983 dan menyebar ke Swis, Yugoslavia, Poland, Romania, Henan (China), Malaysia, Thailand dan Vietnam  [CMI, 1987].
 
Perkembangan penyakit ini sangat cepat, contoh kasus di daerah Nebraska yang pada tahun 1999 ditemukan tersebar di 41 lokasi pada 14 daerah, setahun kemudian [tahun 2000] penyakit ini berkembang menjadi 149 lokasi di 27 daerah. Di tahun 2002 penyakit ini sudah tersebar di banyak negara seperti Eropa (Austria), Amerika (Bolivia, Brazil, Canada, Costa Rica, Guyana, Mexico, Peru, Puerto Rica, dan USA), Asia (Cina, India, Malaysia, Thailand, Vietnam).

Sampai dengan tahun 2006, penyakit ini digolongkan sebagai OPT  A1, yakni merupakan penyakit yang belum ada di Indonesia (Deptan, 2006). Sementara itu hasil survey dilapangan, penyakit ini sudah ada dan berkembang di Sumatera Barat (Rahma dan Habazar, tidak dipublikasi). Tahun 2008, Rahma dan Armansyah menemukan penyakit ini dengan insidensi penyakit di kota Padang dan kota Padang Pariaman sebesar 1-15%, di Kabupaten Pesisir Selatan dan Kabupaten Lima Puluh Kota 3,33% dan 6,64 %. Selanjutnya di tahun 2009, Khairul dan Rahma menemukan penyakit ini di daerah Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Gorontalo dengan insidensi penyakit sebesar 9-40%, dan severitas penyakit sebesar 12-25%.

Tingkat kerusakan akibat penyakit ini di Kalifornia menyebabkan kehilangan hasil sebesar 10-20% (Rivai, 2004). Pada tanaman jagung manis yang peka kehilangan hasil dapat mencapai 40 -100% ketika faktor epidemik mendukung dan terinfeksi sejak  tanaman baru berdaun 5 helai. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pada tanaman  terinfeksi, 0.2%-12% biji benihnya menunjukkan terinfeksi. Pada tanaman yang menunjukkan gejala layu akibat penyakit ini jika menghasilkan biji maka 100% biji benihnya menunjukkan terinfeksi. Dari biji benih yang 98.2% terdeteksi terinfeksi kemungkinan embrio bijinya terinfeksi 1% atau lebih. Dari embrio biji benih yang terinfeksi 1-72% , biji benih yang dihasilkan setelah ditanam kembali dari benih tersebut >35% dari setiap 6 biji yang dihasilkan terinfeksi embrionya. Penurunan hasil akibat penyakit ini adalah sebesar 0.8% setiap  1% tanaman yang terinfeksi secara sistemik di pembibitan [berdasarkan hasil perhitungan regresi produksi di Amerika yang mencapai 11-14 ton/ha].

Penyakit layu stewart ini lebih banyak menyerang tanaman jagung manis karena lebih rentan dibandingkan jagung biasa. Penyakit ini terdapat 2 fase gejala yakni layu pada bibit, terutama pada tanaman berdaun kurang dari 5 helai [Gbr 1a], dan hawar daun tua di fase vegetatif dan generatif berwarna putih memanjang searah tulang daun [Gbr 1b]. Penyakit ini ditransmisikan oleh Corn Flea Beetle (Chaetocnema pulicaria) sebagai vector utama yang mampu mendukung proses hibernasi patogen [Gbr 1c]. Vector lain yang diduga memiliki kemampuan menyebarkan penyakit ini diantaranya Diabrotica undecimpunctata howardi [larva dan imago] dan Diabrotica longicornis [larva]. Bakteri patogen penyebab penyakit layu stewart ini mampu hidup pada usus kumbang dan menyebar pada tanaman ketika kumbang tersebut melakukan aktifitas makan.  Bakteri patogen ini pertama kali mengkolonisasi pada jaringan vaskular, ditemukan pada roots, stalks, leaf blades and sheaths, tassels, cobs, husks and kernels. Inti biji terinfeksi apabila tingkat serangan penyakit tinggi dan pada varietas yang peka.  Bakteri patogen ini mampu hidup pada benih jagung selama 200-250 hari yang disimpan pada suhu 8-15°C.
 
Intensitas penyakit ini dipengaruhi oleh kondisi unsurhara tanaman dan suhu. Pada kondisi unsure hara N dan P tinggi maka serangan penyakit ini juga tinggi, sementara pada kondisi unsure hara Ca dan K tinggi serangan penyakit ini juga menunjukkan penurunan. Intensitas penyakit pada suhu kurang dari 20-24oC relatif turun dibandingkan pada suhu 32-38 yang cenderung tinggi. Hal ini sejalan dengan peningkatan survival vektor.
 
Patogen penyebab penyakit ini sebelumnya tergolong genus erwinia yang selanjutnya berdasarkan pendekatan chemotaxonomic dan molekuler digolongkan kedalam genus Pantoea. Pantoea stewartii sendiri merupakan salah satu dari 7 spesies Pantoea yakni P. Agglomerans, P. Ananatis, P. Citrea, P. Dispersa, P. Punctata, P. Terrea dan P. Stewartii.  Patogen ini memiliki beberapa penamaan yang sama seperti Pseudomonas stewarti (sic) Smith 1898; Bacterium stewarti (Smith 1898) Smith 1911; Aplanobacter stewarti (Smith 1898) McCulloch 1918; Phytomonas stewarti (Smith 1898) Bergey et al. 1923; Xanthomonas stewarti (Smith 1898) Dowson 1939; Pseudobacterium stewarti (Smith 1898) Krasil’nikov 1949; dan Erwinia stewartii (Smith 1898) Dye 1963.  Susunan nama berdasarkan sistematika taksonomi terbaru bakteri patogen ini adalah Kingdom: Bacteria, Phylum: Proteobacteria, Class: Gamma Proteobacteria, Order: Enterobacteriales, Family: Enterobacteriaceae, Genus: Pantoea , Spesies: Pantoea stewartii (Smith 1898); Mergaert et al. 1993 ;Subspecies P. S. Subsp. Stewartii  P. S. Subsp. Indologenes.
 
Secara morfologis koloni bakteri ini bulat, cembung, warna kuning, permukaan berlendir, dan pinggiran datar.  Hasil pengujian jenis gram menggunakan metode Schaad, Jones, dan Chun (2001), yaitu dengan cara mengambil biakan bakteri yang berumur 2x24 jam dengan jarum ose lalu dicampurkan dengan larutan KOH 3% menunjukkan terjadi penggumpalan sehingga bakteri ini dikelompokan kedalam bakteri ber Gram negatif. Hasil pengujian pektinase menggunakan metode Klement et al (1990), yaitu kentang dipotong dengan ukuran 1x1 cm, kemudian permukaannya disterilisasi dengan akuades, alkohol 70% lalu dibilas dengan akuades. Irisan kentang diletakkan di dalam cawan petri yang dilapisi kertas saring lembab lalu permukaannya diinokulasi dengan 1 ml suspensi Pnss pada bagian tengah kentang dengan mikropipet. Setelah 2x24 jam inkubasi terjadi pembusukan dan perubahan warna kentang tersebut menjadi coklat dan hitam, sehingga bakteri ini dikategorikan sebagai bakteri yang memproduksi enzim pektinase. Hasil pengujian produksi pigmen kuning yang dilakukan dengan menggunakan metode Schaad et al (2001), yaitu koloni Pnss digoreskan ke dalam media YDC, dan diinkubasi selama 5x24 jam, menunjukkan koloni tumbuh berwarna kuning yang berarti bakteri ini menghasilkan pigmen kuning. Hasil pengujian hipersensitif bertujuan untuk mengetahui apakah bakteri tergolong patogen atau tidak menggunakan metode Klement et al (1990), yaitu suspensi Pnss (108 sel/ml) diinfiltrasi secara interselluler dengan menggunakan jarum suntik pada jaringan permukaan bawah daun tembakau (Nicotiana tabaccum) sampai jenuh, kemudian diselubungi dengan plastik bening menunjukkan reaksi spesifik yang ditandai dengan adanya bagian yang memucat lalu nekrosis dalam waktu 3x24 jam. Hasil pengujian patogenisitas untuk mengetahui kemampuan bakteri dalam menimbulkan gejala penyakit pada tanaman inang yang dilakukan dengan menggunakan metode Coplin dan Kado (2001), yaitu pangkal batang tanaman jagung umur 8 hari diinokulasikan dengan suspensi Pnss 108 sel/ml menggunakan jarum suntik, kemudian diselubungi dengan plastik bening untuk menjaga kelembaban dan diinkubasi di rumah kawat selama 7x24 menunjukkan garis hijau pucat sampai kuning di sepanjang pertulangan daun.
Tingkat virulensi bakteri ini tergantung pada translokasi effektor protein kedalam sel inang dengan Hrp type III secretion system [Merighi, et el 2006]. Bakteri ini menyerang pada pase pertumbuhan bibit; pertumbuhan vegetatif; pertumbuhan bunga; dan pembentukan buah dengan bagian tanaman yang terserang adalah seluruh tanaman, daun, batang, akar, struktur bunga dan benih. Nilai aglutinasi spesifik oleh tanaman berkorelasi negatif dengan tingkat virulensi bakteri ini (Bradshaw-Rouse et al., 1981).
 
Cluster gen patogenisitas bakteri ini terletak pada 24kb yang membutuhkan luka  water soaking untuk mengakibatkan layu pada bibit, meskipun gen ini tidak diperlukan untuk perkembangan awal bakteri (Coplin et al., 1992; Frederick et al., 2001). HrpS [hypersensitive and Pathogenecity  reaction] diatur oleh HrpX dan hrpY. Dua komponen ini mengatur kerja hrpS untuk merespon terhadap signal lingkungan. Receiver utama pada N-terminal HrpX dan hrpX mengandung tiga residu aspartyl (D11, D12, and D57). Aktifasi HrpX dan hrpY  mengekspresikan hrpS dan secara otomatis mengatur hrpXY. HrpS merupakan gen pertama yang secara beruntun mengatur  penekanan terhadap sel tanaman melalui peningkatan osmolaritas, peningkatan Ph, dan produksi asam nicotinic. Bakteri ini sudah dikarakterisasi secara molekuler dengan nomor akses GenBank database AF282857.
 
Rekomendasi pengendalian untuk penyakit ini adalah melalui kegiatan kegiatan seperti Disease-free seed, yakni produksi benih jagung di daerah yang tidak pernah terjadi penyakit ini; Seed Treatments, perlakuam benih melalui perendaman benih dengan beberapa antibiotik pada suhu 40-47°C selama 1.5 jam; dan perlakuan benih dengan pestisida imidacloprid, thiamethoxam, and clothianidin. Hasil penelitian dengan perlakuan benih ini mampu mengurangi tingkat serangan hingga 50% - 85% dengan total biaya yang dikeluarkan sebesar  US$ 3/ha; Seed Health Tests, yakni memeriksa kesehatan benih sebelum digunakan menggunakan prosedur ELISA pada benih; Forecasting Culture,  dengan merencanakan dan mempersiapkan penanaman pada musim hujan dimana suhu rata-rata harian antara 20-24oC yang mampu menekan perkembangan penyakit; Host-plant Resistance, yaitu dengan menanam varietas resisten hibrida yang mampu menekan perkembangan bakteri pada jaringan vaskular tanaman dan hanya ditanam satu kali pada suatu lahan; Chemical,  melalui penggunaan karbofuran untuk mengendalikan serangga vector sehingga mengurangi tingkat sebaran penyakit ini; Biological, melalui penggunaan bacteriophage yang diisolasi dari vector; dan Culture technique, yaitu dengan penggunaan unsure hara seimbang dimana kandungan N dan P tidak terlalu tinggi sementara kandungan Ca yang berpotensi menurunkan perkembangan penyakit ditingkatkan.




DAFTAR PUSTAKA

European and Mediterranean Plant Protection Organization.2005. Diagnostic Pantoea stewartii subsp. stewartii. OEPP/EPPO,Bulletin OEPP/EPPO Bulletin 36, 111–115
http://en.wikipedia.org/wiki/Pantoea_stewartii
Jerald K. Pataky and Robert Ikin. 2003. Pest Risk Analysis: The risk of introducing Erwinia stewartii in maize seed. The International Seed Federation Chemin du Reposoir 7 1260 Nyon, Switzerland
Khairul, U. dan Rahma, H. 2009. Pengelolaan Penyakit Layu Stewart: Penyakit Baru Pada Tanaman Jagung Di Indonesia Menggunakan Biopestisida Indigenus. [Laporan]. Padang. Fakultas Pertanian Universitas Andalas. 29 hal.
Massimo Merighi, Doris R. Majerczak, Michael Zianni, Kimberly Tessanne,  and David L. Coplin.2006. Molecular Characterization of Pantoea stewartii subsp. stewartii HrpY, a Conserved Response Regulator of the Hrp Type III Secretion System, and its Interaction with the hrpS Promoter. Journal Of Bacteriology, July 2006, p. 5089–5100 Vol. 188, No. 14.
Rahma, H. dan Armansyah. 2008. Penyebaran Penyakit Stewart oleh Bakteri Pantoea Stewartii sebagai Penyakit baru pada Tanaman Jagung (Zea mays. L) Studi Kasus di Sumatera Barat. [Laporan]. Padang. Fakultas Pertanian Universitas Andalas. 19 hal.
Sastri, Y. 2010. Keberadaan dan Tingkat Serangan Pantoea stewartii subsp. stewartii Penyebab Layu dan Hawar Daun Stewart pada Tanaman Jagung (zea mays l.) di Sumatera Barat. [Skripsi]. Universitas Andalas

Rudy_Bogor

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama